SURABAYA (Lentera) — Meningkatnya aktivitas siklon tropis di Samudera Hindia, kembali memicu kekhawatiran terhadap potensi bencana hidrometeorologis di Indonesia.
Terkait hal itu, Pakar mitigasi kebencanaan ITS, Dr Amien Widodo MSi mengatakan kondisi ini harus menjadi momentum, untuk memperkuat kesiapsiagaan masyarakat khususnya di wilayah rawan di Jawa Timur.
Peringatan dini dari BMKG sebelumnya telah disampaikan jauh sebelum kemunculan Siklon Seniyar, yang memicu hujan ekstrem dan menyebabkan banjir bandang serta longsor besar di sejumlah wilayah Sumatera.
Hingga kini, tercatat 836 korban meninggal dunia, 518 orang hilang, serta lebih dari 10.500 rumah rusak. Selain itu, bencana tersebut merusak 536 fasilitas umum, 25 fasilitas kesehatan, 326 sekolah, 185 rumah ibadah, dan 295 jembatan, membuat banyak desa terisolasi akibat akses yang terputus.
Menurut Amien, dampak besar Siklon Seniyar dipicu interaksi antara curah hujan ekstrem, topografi bergunung-gunung, serta kerusakan hutan yang telah berlangsung puluhan tahun.
“Tanah menjadi tidak stabil dan banjir bandang membawa lumpur, batu, hingga kayu gelondongan dengan daya rusak yang sangat besar,” kata Amien, Jumat (5/12/2025).
Ia menuturkan,, pada Rapat Dengar Pendapat DPR bersama BMKG tanggal 2 Desember 2025, muncul informasi adanya bibit siklon tropis baru di selatan Jawa. Fenomena ini diperkirakan dapat memengaruhi cuaca di Jawa, Bali, NTT, hingga Timika, Papua.
“Peringatan ini harus segera direspons dengan langkah mitigasi nyata. Tragedi Sumatera membuktikan bahwa keterlambatan persiapan bisa berakibat fatal,” tutur Amien.
Di Jawa Timur sendiri, BPBD telah memetakan 14 potensi bencana, termasuk 13 bencana alam seperti banjir bandang, longsor, cuaca ekstrem, hingga tsunami. Kawasan rawan banjir bandang dan longsor tersebar di lebih dari 30 kabupaten/kota, mulai Pacitan, Ponorogo, Trenggalek, Malang, Jember, hingga Banyuwangi.
Amien menekankan, pengurangan risiko bencana tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah atau lembaga penolong. Tapi kesiapsiagaan masyarakat, menjadi faktor penentu keselamatan.
Ia merujuk riset penyelamatan korban Gempa Kobe, Jepang (1995) yang menunjukkan bahwa 35 persen korban selamat karena usaha sendiri, 32 persen dibantu keluarga, 28 persen oleh tetangga serta bantuan pihak luar hanya 5 persen.
“Artinya, 67 persen keselamatan bergantung pada kemampuan diri sendiri dan keluarga. Semua anggota keluarga, termasuk lansia, balita, dan penyandang disabilitas, harus memahami ancaman yang ada di sekitar mereka,” jelasnya.
Ia juga mengingatkan, pada bencana besar tidak sedikit desa yang terisolasi.
“Jika masyarakat telah diberdayakan dan dibekali pengetahuan serta logistik dasar, mereka tetap bisa bertahan hidup meski bantuan eksternal belum tiba,” tambahnya.
Amien menilai, sinergi antara pemerintah, komunitas lokal, dan sektor swasta harus diperkuat. Edukasi, latihan, serta kolaborasi rutin menjadi fondasi ketangguhan menghadapi siklon tropis dan bencana hidrometeorologis lainnya.
“Ketangguhan tidak muncul dalam semalam. Tapi jika setiap keluarga sadar ancaman, hingga 95 persen warga bisa selamat,” tutupnya.
Reporter: Amanah/Editor: Ais





.jpg)
