10 December 2025

Get In Touch

Cuaca Ekstrem Jadi Siklus Tahunan, Pakar UB: Koordinasi Mitigasi Bencana di Indonesia Belum Optimal

Guru Besar Bidang Mitigasi Bencana Universitas Brawijaya (UB), Prof. Sukir Maryanto, S.Si., M.Si., Ph.D. (dok. Humas UB)
Guru Besar Bidang Mitigasi Bencana Universitas Brawijaya (UB), Prof. Sukir Maryanto, S.Si., M.Si., Ph.D. (dok. Humas UB)

MALANG (Lentera) -Cuaca ekstrem yang terjadi pada periode September 2025 hingga Februari 2026, dinilai sebagai salah satu faktor utama pemicu bencana alam yang melanda sejumlah wilayah di Indonesia. Namun, di tengah siklus tahunan tersebut, upaya mitigasi bencana dinilai masih belum optimal akibat lemahnya koordinasi antar lembaga.

Hal itu disampaikan Guru Besar Bidang Mitigasi Bencana Universitas Brawijaya (UB), Prof. Sukir Maryanto, S.Si., M.Si., Ph.D., menanggapi bencana banjir besar yang terjadi di beberapa wilayah Sumatera pada penghujung November 2025 lalu.

Prof. Sukir menjelaskan, fenomena cuaca ekstrem bukanlah kejadian tiba-tiba, melainkan pola berulang yang seharusnya dapat diprediksi dengan akurat melalui sistem informasi cuaca yang presisi. "Saat ini kondisi cuaca ekstrem. Siklus ini terjadi tiap tahun," ujarnya, Senin (8/12/2025).

Prof. Sukir menilai, mitigasi bencana dapat berjalan lebih baik apabila sistem peringatan dini di Indonesia bekerja secara optimal. Menurutnya, kemampuan prediksi dan penyampaian informasi cuaca di Indonesia masih tertinggal dibanding sejumlah negara, salah satunya Jepang.

"Di Jepang, ramalan cuaca tersedia per jam dan per wilayah kecil seperti kecamatan. Informasinya ada di TV publik, transportasi umum, hingga situs pemerintah," jelasnya.

Sistem tersebut, lanjutnya, memungkinkan masyarakat mengantisipasi hujan, angin kencang, hingga potensi bencana lain secara lebih akurat dan cepat.

Sementara di Indonesia, Prof. Sukir menyebut koordinasi dalam penyampaian informasi antar instansi dinilai masih lemah sehingga data dan peralatan pemantauan belum terintegrasi dengan baik. Ia menilai BMKG perlu meningkatkan kualitas informasi cuaca sekaligus memperkuat sosialisasi kepada masyarakat.

Selain itu, penguatan kolaborasi antara BMKG, BRIN, badan geologi, serta perguruan tinggi juga dinilai penting untuk memastikan data pemantauan bencana lebih komprehensif. "Koordinasi antar lembaga masih lemah sehingga data dan peralatan pemantauan bencana belum terintegrasi dengan baik," katanya.

Di sisi lain, Prof. Sukir juga mengungkap faktor lingkungan yang memengaruhi besarnya dampak banjir, terutama terkait deforestasi. Ia menilai banyaknya batang kayu yang terbawa arus banjir di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, menunjukkan indikasi adanya penebangan hutan yang perlu dievaluasi.

Dijelaskannya, deforestasi masih menjadi persoalan serius, terlebih karena Indonesia berada "di bawah rata-rata dunia" dalam standar pengelolaan hutan berkelanjutan. Beberapa program masa lalu, seperti pembukaan lahan transmigrasi, perkebunan karet, dan sawit, menurutnya, turut mengurangi tutupan hutan tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang.

"Banyak kasus pemanfaatan hutan tidak sesuai desain lingkungan, sehingga banjir kerap muncul," katanya.

Reporter: Santi Wahyu|Editor: Arifin BH

Share:
Lenterajogja.com.
Lenterajogja.com.