Oleh : Mochamad Rafi Fahruddin*
Sebagai seorang mahasiswa yang dibesarkan di era digital yang cepat, saya merasa bahwa kebijakan sekolah untuk menjadikan Mobile Legends Bang Bang (MLBB) sebagai ekstrakurikuler adalah langkah yang menarik dan patut diapresiasi, namun jelas ada banyak hal yang perlu diperhatikan lebih lanjut.
Mari kita renungkan sejenak, siapa di antara kita yang tidak pernah berusaha menaikkan rank MLBB bersama teman hingga mengabaikan waktu? Sebenarnya, permainan ini telah menjadi bagian penting dari budaya Generasi Z dan Alpha. Sebagai institusi yang seharusnya relevan dengan zaman, sekolah harus beradaptasi dan berinteraksi dengan lingkungan ini sebagai bentuk penerimaan terhadap perubahan yang ada.
MLBB sebagai ekstrakurikuler? Mengapa tidak? Ini merupakan salah satu metode yang sangat efektif bagi sekolah untuk terhubung dengan siswa mereka. Daripada melarangnya secara keras yang hanya akan memicu kegiatan bermain tersembunyi, lebih baik diakomodasi dan diberi arahan. Ini bukan sekadar tentang bermain game, melainkan juga mengenai pengembangan Soft Skill mereka. MLBB sangat terkait dengan kerjasama antar tim, komunikasi antar pemain, perencanaan strategi, serta pengelolaan emosi bagi para pemain. Hal ini sangat relevan untuk dunia kerja.
Selain pengembangan Soft Skill, game ini juga dapat menjadi jembatan bagi siswa untuk memasuki Dunia Digital seperti Esport. MLBB bisa membuka pintu bagi siswa untuk mengetahui berbagai profesi masa depan mereka, termasuk sebagai atlet Esport, Caster, Analis, hingga pengembang game. Ini sejalan dengan upaya Kemendikbudristek untuk memasukkan kurikulum yang seiring dengan perkembangan AI dan Coding.
Ekstrakurikuler Tidak Boleh Hanya untuk Mabar!
Di sinilah letak tantangan yang penting. Saya sangat setuju dengan konsep ini, tapi pelaksanaannya harus dilakukan dengan hati-hati. Kekhawatiran utama saya adalah jika ekstrakurikuler ini hanya menjadi sarana bagi siswa untuk berkumpul dan bermain tanpa tujuan edukatif. Ada aspek penting yang harus diperhatikan, MLBB perlu memiliki modul pembelajaran yang terstruktur. Fokusnya harus beralih dari sekedar "menang game" menjadi menganalisa strategi, mengevaluasi performa tim, serta memahami etika digital. Sekolah juga perlu melibatkan pelatih yang berpengalaman, bukan hanya pemain handal.
Pengawasan yang tepat dan batasan juga sangat diperlukan, karena risiko kecanduan memang nyata. Sekolah dan orang tua harus bekerja sama untuk membuat peraturan yang ketat mengenai waktu bermain. Jika prestasi akademik menurun, harus ada konsekuensi yang jelas, seperti pelarangan mengikuti kompetisi. Bermain game boleh, tetapi kewajiban sebagai pelajar tetap yang utama.
Penerapan Fair Play dan kompetisi yang sehat juga sangat penting. Kritikan dari Dewan Pendidikan Jatim mengenai potensi keberpihakan pada developer tertentu memang relevan. Sekolah perlu memastikan bahwa fokusnya adalah pada pengembangan esports secara keseluruhan, bukan hanya satu permainan tertentu. Selain itu, menghindari budaya gaming yang beracun harus menjadi tujuan utama dari ekstrakurikuler ini.
Intinya, keberhasilan MLBB sebagai ekstrakurikuler tidak diukur dari jumlah siswa yang mahir dalam permainan, tetapi seberapa efektif kegiatan ini dalam mengubah hobi bermain game menjadi Soft Skill dan kemampuan adaptasi digital yang bertanggung jawab bagi siswa. Jika dikelola dengan baik dan terarah, ini bukan hanya sekedar tren, melainkan investasi yang bijak bagi masa depan generasi digital saat ini. Jika hanya untuk bermain saja, lebih baik lakukan di rumah! Hahaha.
*Mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Co-Editor: Nei-Dya





.jpg)
