OPINI (Lentera) -Selamat pagi Indonesia!
Militer Tiongkok pertengahan Agustus 2025 lalu mengusir sebuah kapal perusak Amerika Serikat (AS) dari perairan yang disengketakan di Laut China Selatan. Sebuah pertemuan menegangkan yang jarang terjadi antara dua kekuatan militer terkuat di dunia.
Angkatan Laut Amerika telah mengerahkan kapal perusak USS Higgins dan sebuah kapal perang yang lebih kecil, USS Cincinnati, di dekat Beting Scarborough setelah dua kapal Tiongkok bertabrakan saat mengusir sebuah kapal Filipina dari atol nelayan yang disengketakan.
Ini adalah operasi militer AS pertama yang diketahui dalam setidaknya enam tahun di dekat atol di lepas pantai barat laut Filipina.
Amerika Serikan (AS) dan Tiongkok sama-sama mencari momen untuk mendapatkan pengakuan sebagai negara penguasa Laut China Selatan (LCS).
Karenanya dua negara adikuasa itu dipastikan meletakkan kekuatan militer dengan membungkus narasi bahwa LCS sebagai tempat latihan militer.
Walaupun sebenarnya tidak tepat jika Amerika yang jauh dari kawasan LCS melakukan latihan militer di perairan itu. Tapi karena AS punya ambisi menguasai LCS sebagaimana Tiongkok, maka semua dianggap sah. Dicarikan jalan AS kerjasama latihan militer dengan Vietnam. Sebuah cara buruk yang melukai negara-negara dekat kawasan.
Negara-negara yang berbatasan langsung dengan LCS: Tiongkok,Taiwan, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, Vietnam dan Indonesia: berbatasan dengan Laut Cina Selatan di bagian utara Kepulauan Natuna.
Maka tak jarang jika terjadi bentrokan militer di kawasan. Kita tidak tahu tiba-tiba dua pesawat militer AS dikabarkan jatuh 26/10/2025 di Laut China Selatan (LCS). Yakni jet tempur F/A‑18F Super Hornet dan helikopter MH‑60R Sea Hawk membuat Tiongkok murka.
Tiongkok menuduh latihan militer asing — termasuk kehadiran kekuatan AS di wilayah LCS — merupakan “akar masalah” keamanan maritim di kawasan ini. Pejabat Tiongkok menyebut, kehadiran militer asing secara rutin menimbulkan risiko, dan mengklaim bahwa langkah-langkah seperti itu merusak stabilitas maritim.
Dalam konteks ini, Tiongkok sepertinya ingin menegaskan posisinya terkait keamanan di Laut China Selatan. Mereka telah lama mengklaim sebagian besar wilayah laut ini sebagai teritorinya, sehingga kehadiran militer asing dianggap sebagai ancaman terhadap kedaulatan mereka.
Situasi panas di LCS itu membuktikan dua negara sedang sama-sama mengklaim seakan-akan wilayah yang sangat strategis ini merupakan halaman mereka.
Tiongkok menuding operasi itu merusak stabilitas maritim, sementara AS merilis Tiongkok berlebihan. Kata AS, operasi militer itu untuk menjaga kebebasan navigasi dan penerbangan kawasan.
Diplomasi yang efektif dan komunikasi yang jelas antara pihak-pihak yang terlibat sangat penting untuk mencegah eskalasi lebih lanjut dan menjaga stabilitas regional.
Posisi Indonesia
Indonesia sebaiknya terus menjaga netralitas dan mengutamakan diplomasi untuk menyelesaikan konflik. Sebagai negara yang juga memiliki kepentingan di wilayah tersebut, Indonesia sudah tepat memperkuat hubungan dengan ASEAN untuk membangun kesepakatan bersama dalam menghadapi dinamika di kawasan Laut China Selatan.
Indonesia juga harus terus mengoptimalkan diplomasi dua arah dengan Tiongkok dan AS untuk meredakan ketegangan. Penting bagi Indonesia untuk menegaskan kedaulatannya, terutama di wilayah Natuna, sembari menghindari langkah-langkah yang bisa memicu eskalasi lebih lanjut.
Pengalaman Indonesia dalam mengedepankan dialog dan kerja sama regional bisa menjadi contoh bagi negara-negara lain dalam menyelesaikan sengketa serupa. Dengan pendekatan yang bijak dan konsisten, Indonesia dapat berperan aktif dalam menjaga stabilitas dan perdamaian di kawasan Asia Tenggara.
Apalagi posisi Indonesia sekarang sedang dielu-elukan global setelah Presiden Prabowo Subianto aktip melakukan pendekatan dengan beberapa kepala negara. Termasuk ketika tampil berpidato di forum Sidang Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang menyerukan perdamaian dunia terutama pada dua negara yang sedang bertikai Israel dan Palestina.
Sudah saatnya penyelesaian LCS itu diakhiri dengan diplomasi ketimbang benturan militer. Apalagi dalam waktu dekat Presiden Trump akan ketemu dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping. Tentu ini merupakan pertemuan emas yang harus melahirkan kesepakatan yang bermanfaat bagi kemaslahatan semua (*)
Penulis: M. Rohanudin|Editor: Arifin BH





.jpg)
