OPINI (Lentera) -Terbetik kabar tidak baik. Judi online telah menyasar semua lapisan masyarakat. Kejaksaan Agung membongkar fakta: pelakunya berasal dari beragam latar. Mulai dari anak sekolah dasar (SD) hingga para tunawisma.
Menurut Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (Jampidum), Asep Nana Mulyana, (27/10/2025), 88,1 persen atau 1.899 pelaku judi online adalah laki-laki. Sementara perempuan menyumbang 11,9 persen atau 257 orang. Mayoritas pelaku justru berasal dari kalangan usia produktif.
Menghadapi ancaman ini, Kejagung gencar melakukan literasi kepada masyarakat. "Literasi bahwa sesungguhnya judi online itu bukan permainan, melainkan perangkap yang betul-betul akan menyengsarakan," kata Asep.
Secara tersirat Asep mengirimkan pesan tentang perlunya pendidikan karakter bagi orang yang berakrab ria dengan teknologi. Teknologi tidak membuat manusia rusak. Yang rusak adalah manusia yang kehilangan arah moral ketika memegang teknologi. Begitu kata orang bijak.
Sedihnya, pendidikan karakter kini seperti barang aneh dan asing. Padahal ia adalah ruh dari pendidikan itu sendiri. Banyak yang melihatnya hanya sebagai pelengkap kurikulum, bukan inti. Lebih ironis lagi, ajaran nilai sering diperlakukan dengan sinis. Seolah moralitas hanyalah wacana yang tidak cocok untuk zaman modern.
Pendidikan karakter kehilangan tempat karena pergeseran nilai sosial.
Masyarakat hari ini lebih menyanjung hasil daripada proses. Menempatkan kecerdasan intelektual lebih tersanjung daripada integritas moral.
Tanpa disadari anak-anak kita seolah dibiarkan tumbuh dalam lingkungan yang menilai keberhasilan dari angka, sertifikat, atau posisi sosial. Bukan dari kejujuran, empati, dan tanggung jawab.
Akibatnya, ketika berbicara tentang kejujuran, kesederhanaan, atau pengendalian diri, banyak yang menganggap itu utopia: baik diucapkan, tapi tak relevan dijalani.
Pengalaman Buruk
Kita paham, sinisme terhadap ajaran nilai tidak lahir dari ruang hampa. Masyarakat mempunyai pengalaman sosial yang buruk. Banyak orang menjadi sinis karena mereka melihat teladan yang rusak di sekitar mereka. Pemimpin yang mengajarkan etika, tapi hidup dalam kemewahan yang berlebihan.
Akibatnya, nilai-nilai luhur seperti kejujuran atau tanggung jawab dianggap omong kosong, karena realitas sosial tidak sejalan dengan retorika moral. Padahal pendidikan karakter bukan wacana moral, tapi fondasi kemanusiaan.
Pendidikan karakter sejati bukan menghafal nilai, melainkan membentuk kebiasaan dan kesadaran nurani. Ia menuntun manusia agar memiliki kemampuan memilih yang benar ketika tidak ada yang mengawasi.
Teknologi dan informasi sekarang memberi kekuatan besar kepada generasi muda. Tapi tanpa karakter, kekuatan itu bisa menghancurkan. Percayalah,
masyarakat modern pun tetap menilai tinggi orang yang berintegritas, bisa dipercaya, dan bekerja dengan hati.
Membumikan Nilai
Kita tentu sepakat bahwa teladan nyata jauh lebih kuat dari ceramah. Guru, dosen, orang tua, dan pemimpin publik harus menjadi pantulan dari nilai yang diajarkan. Dan yang terpenting, kita perlu mengembalikan kebanggaan atas kebaikan.
Di tengah sinisme, masih banyak orang jujur dan tulus — mereka perlu diangkat agar nilai-nilai luhur kembali punya wajah nyata.
Kabar baiknya, fenomena maraknya judol dan pinjol bisa menjadi momentum baik untuk lebih membumikan dan mempraktikkan membangun ketahanan mental dan karakter dalam konteks mencegah judol dan pinjol.
Ketahanan mental adalah kemampuan untuk pulih dari kesulitan dan kegagalan. Ini adalah anti-virus terhadap keputusasaan akibat kekalahan judi atau lilitan utang pinjol.
Masyarakat perlu mengapresiasi usaha. Bukan hasil. Ingatkan pelajar bahwa nilai diri mereka tidak ditentukan oleh seberapa banyak uang yang mereka miliki atau seberapa cepat mereka sukses. Fokuslah pada proses, disiplin, dan etos kerja.
Keluarga dan sekolah harus berani membahas kegagalan finansial atau kesalahan hidup. Karakter yang kuat adalah filter terhadap godaan "jalan pintas," termasuk janji manis judi dan pinjol.
Meski terdengar absurd, agaknya ada baiknya kita mencoba puasa medsos dan gawai. Artinya sengaja membatasi penggunaan gawai. Ini mengurangi paparan terhadap iklan judol yang agresif dan tekanan gaya hidup konsumtif.
Kepuasan dan kesuksesan sejati datang dari usaha yang jujur, bukan dari keberuntungan atau jalan pintas yang berisiko.
Pendidikan tidak cukup hanya berfokus pada akademik. Membangun ketahanan mental dan karakter yang kuat di hadapan godaan dunia digital adalah kunci utama untuk melindungi pelajar dan mahasiswa. *
Zainal Arifin Emka, Wartawan Tua, Pengajar Jurnalistik|Editor: Arifin BH





.jpg)
