
OPINI (lentera) -Dilema utang Kereta Cepat Whoosh semakin panas. Perdebatan saling mengunci. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan memberi solusi dilakukannya "restrukturisasi" utang Whoosh.
Di tengah kisruh utang Whoosh Rp 116 triliun tiba-tiba menyelinap di Facebook konduktor pengadaan Whoosh mantan Presiden Joko Widodo: Whoosh sampai kiamat tidak akan pernah untung. Yang penting rakyat terlayani secara baik.
Jadi skenario konduktornya memang sedatar dan sesederhana itu. Masalah besarnya terletak pada kerumitan untuk memikul beban beratnya.
Pilihan restrukturisasi juga akan menelan resiko tinggi. Dalam posisinya sebagai Ketua Dewan Energi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan, proyek Kereta Cepat Whoosh sudah dalam kondisi keuangan yang "busuk" sejak awal. Proses restrukturisasi utang ini sempat tertunda karena pergantian pemerintahan, namun kini China telah menyetujuinya.
Risiko yang dihadapi restrukturisasi sudah tentu keterlibatan APBN yang kemudian ditolak Menteri Keuangan Purbaya Sadewa. Bahkan restrukturisasi juga dapat merusak dan mengancam reputasi Indonesia di mata investor dan komunitas internasional. "Jadi serba salah".
Cuitan netizen di komunitas Facebook berfikir lebih kritis: "restrukturisasi hutang itu akan menambah beban bunga karena pinjaman pokok diperpanjang waktu pembayaran dari 80 tahun ke 130 tahun. Kira-kira dengan restrukturisasi hutang tersebut nilai Whoosh itu sebanding, gak? Profitnya aja tidak menutup bunga, apalagi bayar pokok hutang?".
Beragam cuitan netizen bikin dahi mengernyit (mengerutkan alis). Semua orang ketar-ketir jika dipikir dengan nalar sehat.
Jika restrukturisasi utang Whoosh tidak menjadi pilihan atau digagalkan atas alasan resiko tinggi, maka jalan yang bisa ditempuh dengan cara private placement, yakni dengan menerbitkan saham baru seperti rencana BUMN Garuda Indonesia.
Risikonya Indonesia tidak punya apa-apa lagi, karena China akan menjadi pemegang saham mayoritas. Artinya aset strategis seperti kepemilikan saham PT Kereta Api Indonesia (KAI) atau bahkan aset negara lainnya berpotensi diambil alih oleh China.
Pengelolaan kereta cepat ini akan diambil alih oleh kreditur China jika Indonesia gagal membayar utang.
Bahkan, menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, pemasukan dari tiket kereta pun akan langsung menjadi pendapatan kreditur. Selain itu, gagal bayar utang proyek kereta cepat ini juga bisa berimbas pada merosotnya rating surat utang pemerintah.
Ada hal lain yang lebih menakutkan: secara politik, bisa-bisa China minta tukar guling menguasai Laut Cina Selatan (LCS) di Natuna Utara. Laut Natuna Utara terletak di sebelah utara Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, Indonesia. Wilayah ini berbatasan dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Vietnam dan Malaysia di Laut Tiongkok Selatan.
Sejak lama China satu-satunya negara yang membabi buta ingin menguasai halaman perairan laut Indonesia yang kaya dengan hasil laut tersebut.
Pilihan: dijual seperti Indosat
Ada pilihan yang lebih radikal: daripada sulit bayar utang Whoosh, mengapa tidak jika Indonesia lepas semua saham. Misalnya seperti kasus Indosat di era Megawati.
Kasus Indosat dan Whoosh memiliki beberapa perbedaan signifikan dalam konteks penguasaan oleh pihak asing. Inilah harga sebuah konsekuensi.
Indosat dijual pada tahun 2002 di era Presiden Megawati Soekarnoputri kepada Singapore Technologies Telemedia Pte Ltd (ST Telemedia) seharga Rp 5,6 triliun untuk 41,94 persen saham.
Lima tahun kemudian, ST Telemedia menjual seluruh saham Indosat kepada Qatar Telecom QSC seharga Rp 16,7 triliun, sehingga menghasilkan keuntungan besar bagi ST Telemedia.
Penjualan Indosat dianggap merugikan Indonesia karena harga jual yang rendah dan kehilangan pendapatan negara.
Whoosh adalah proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang pembangunannya didanai oleh pinjaman dari China. Jika Whoosh dikuasai China, pemerintah Indonesia masih memiliki kontrol atas operasional Whoosh dan dapat mengatur kebijakan untuk melindungi kepentingan nasional.
Perbedaan utama antara kasus Indosat dan Whoosh: Indosat bergerak di bidang telekomunikasi yang sangat vital bagi keamanan nasional, sedangkan Whoosh adalah proyek infrastruktur transportasi.
Indosat dijual secara langsung kepada pihak asing, sedangkan Whoosh dibangun dengan pinjaman dari China dan operasionalnya masih dikelola oleh BUMN.
Artinya dalam kasus Whoosh, pemerintah Indonesia memiliki kesempatan untuk mengatur dan mengawasi operasional kereta cepat ini untuk melindungi kepentingan nasional. Oleh karena itu, kasus Whoosh dan Indosat memiliki konteks yang berbeda.
Jadi pilih yang mana?
Restrukturisasi utang dapat memberikan beberapa keuntungan, seperti mengurangi beban keuangan perusahaan, meningkatkan likuiditas, dan memberikan kesempatan bagi perusahaan untuk fokus pada pengembangan bisnis dan meningkatkan kinerja keuangan jangka panjang. Ini sekaligus untuk menghindar dari kebangkrutan
Selain itu, restrukturisasi utang juga dapat membantu perusahaan untuk memperbaiki struktur modalnya, meningkatkan fleksibilitas keuangan, dan meningkatkan kemampuan untuk menghadapi tantangan bisnis di masa depan.
Dengan demikian, perusahaan dapat lebih siap untuk menghadapi perubahan pasar dan meningkatkan daya saingnya (*)
Penulis: M. Rohanudin|Editor: Arifin BH