
KOLOM (Lentera) -Peristiwa Kepala SMAN 1 Cimarga menampar siswa yang ketahuan merokok di area sekolah, menarik perhatian. Antara lain lantaran bumbu aksi solidaritas sesama siswa diiringi ancaman mogok sekolah segala. Mereka menuntut kepala sekolah dilengserkan.
Di luar dugaan, aksi mereka mendapat respon kurang elok masyarakat. Muncul seruan agar para HRD Human Resource Development (HRD) atau Pengembangan Sumber Daya Manusia perusahaan mendaftar hitam para siswa pelanggar.
Nah, ini bagian yang menarik. Dukungan untuk guru justru datang dari masyarakat. Banyak yang berpihak pada guru. Menganggap tindakan mendisiplinkan siswa adalah wajar, meski caranya dinilai keliru.
Wakil Gubernur Jawa Tengah, Taj Yasin Maimoen, misalnya, mengingatkan: membesar-besarkan masalah justru akan menjadikan anak sebagai korban dan membuat guru tertekan.
Alasan Cengeng
Kasus-kasus guru dilaporkan bahkan dihukum sudah sering terjadi. Kadang dengan alasan sangat sepele. Alasan cengeng yang terasa bergenit genit.
Dampaknya, guru mulai apatis, cemas, hingga malas menegur siswa yang melanggar. Sekadar cara untuk menghidari risiko dilaporkan dan didenda.
Di negeri kita, cara memandang kasus guru dipolisikan karena menegur siswa bisa melalui kacamata multidimensi yang melibatkan aspek hukum, etika profesi, sosial-budaya, dan sistem pendidikan.
Fenomena ini memunculkan kekhawatiran serius tentang perlindungan guru dan efektivitas proses pendisiplinan serta pendidikan karakter.
Guru kita tentu memiliki payung hukum yang melindungi mereka dalam menjalankan tugas keprofesian, termasuk memberikan sanksi yang bersifat mendidik.
Pasal 39 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, menyatakan bahwa guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma dan peraturan, asalkan sanksi tersebut berupa teguran/peringatan (lisan atau tertulis) atau hukuman yang bersifat mendidik sesuai kaidah pendidikan dan kode etik guru.
Guru berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan kekerasan, ancaman, diskriminasi, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari peserta didik, orang tua, masyarakat, atau pihak lain.
Keadilan Restoratif
Kasus pemolisian sering kali muncul karena adanya tindakan fisik atau psikis yang dianggap melampaui batas kewajaran mendidik. Ketika peneguran berujung pada kekerasan fisik, misalnya pemukulan yang menimbulkan luka atau kekerasan psikis, maka guru dapat dijerat hukum.
Di titik ini terjadi dialektika antara upaya guru mendisiplinkan siswa (yang dilindungi UU Guru) dan hak anak atas perlindungan dari kekerasan (yang dijamin UU Perlindungan Anak).
Penegak hukum diminta lebih mengedepankan keadilan restoratif dan mempertimbangkan konteks mendidik guru. Bukan semata-mata menggunakan instrumen hukum pidana sebagai sarana pembalasan.
Faktanya, hubungan yang tegang antara guru dan orang tua menjadi salah satu pemicu utama.
Beberapa orang tua cenderung memiliki pola pikir protektif berlebihan yang menolak segala bentuk hukuman atau ketidaknyamanan bagi anak mereka. Meski jika itu merupakan penegakan disiplin yang wajar.
Mereka terburu-buru membawa ke ranah hukum tanpa melalui mekanisme penyelesaian konflik di sekolah.
Ada pula faktor komunikasi yang buruk.
Seringkali terjadi minimnya pemahaman bersama antara sekolah (guru) dan orang tua mengenai standar disiplin, tata tertib, dan jenis sanksi.
Sekolah perlu memiliki kode etik yang jelas dan transparan yang disosialisasikan dan disepakati semua pihak sejak awal.
Pergeseran Nilai
Secara suka rela atau sukar rela, harus diakui adanya pergeseran nilai di masyarakat. Kini figur guru tidak lagi mendapat penghormatan mutlak seperti di masa lalu. Akibatnya, tindakan peneguran guru lebih mudah dipermasalahkan.
Kondisi ini bukan tanpa ongkos. Ada dampak terhadap dunia pendidikan. Dampak negatif yang signifikan terhadap iklim pendidikan.
Kasus-kasus ini menciptakan iklim ketakutan di kalangan guru. Membuat mereka enggan atau ragu untuk menegakkan disiplin. Pada akhirnya ini dapat melonggarkan aturan dan berdampak buruk pada pembentukan karakter serta kedisiplinan siswa.
Jika guru tidak berani menegur siswa yang melanggar, siswa tidak belajar tentang konsekuensi, tanggung jawab, dan kedisiplinan. Sesuatu yang penting bagi kehidupan sosial dan profesional mereka di masa depan.
Kasus ini mendorong perlunya guru untuk beralih sepenuhnya ke metode pendisiplinan non-kekerasan. Seperti konseling, pembinaan karakter, sanksi edukatif, dan pendekatan berbasis solusi. Misalnya, siswa yang melanggar diminta melakukan kegiatan sosial atau perbaikan.
Peristiwa ini sekaligus mengirimkan pesan tentang perlunya mengakui bahwa guru harus dilindungi dari kriminalisasi selama tindakan mereka bersifat mendidik dan tidak melampaui batas. Tanpa kekerasan fisik atau psikis.
Di sisi lain, siswa harus dilindungi dari segala bentuk kekerasan, bahkan atas nama disiplin.
Solusi terbaik terletak pada pencegahan melalui transparansi aturan sekolah, komunikasi intensif antara guru dan orang tua, serta peningkatan kompetensi guru dalam menerapkan pendisiplinan positif dan non-kekerasan.
Boleh jadi kita sedang membutuhkan regulasi yang lebih tegas. Terutama dalam membedakan tindakan mendidik dan tindak pidana.
Juga kesadaran kolektif seluruh elemen masyarakat untuk menempatkan kepentingan pendidikan karakter sebagai prioritas.
Lingkungan pendidikan yang sangat disiplin bisa meminimalkan ambiguitas.
Pada dasarnya, fenomena ini merupakan tantangan di era hak asasi manusia dan perlindungan anak. Di titian ini guru harus menavigasi garis tipis antara wewenang mendisiplinkan dan larangan kekerasan dalam bentuk apa pun (*)
Penulis: Zainal Arifin Emka -Wartawan Tua, Pengajar Jurnalistik|Editor: Arifin BH